PT Pertamina (Persero) mengaku melakukan optimalisasi biaya hingga US$2,21 miliar atau setara Rp32,77 triliun di sepanjang tahun lalu di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Optimalisasi biaya tersebut mencakup penghematan biaya US$1,36 miliar setara Rp20,16 triliun, penghindaran biaya US$356 juta atau Rp5,27 triliun, serta tambahan pendapatan US$495 juta atau Rp7,34 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menuturkan optimalisasi biaya dilakukan untuk memperkuat strategi keuangan dan upaya operasional guna meningkatkan efisiensi di seluruh lini bisnis, baik holding maupun subholding, mulai dari hulu, pengolahan, sampai hilir.
Penguatan strategi ini juga dilakukan untuk menghadapi tantangan harga minyak mentah dunia yang terus melambung.
“Kami berupaya mengoptimalkan seluruh biaya serta mengelola aspek finansial perusahaan, agar dapat menekan biaya termasuk memprioritaskan proyek-proyek yang memiliki hasil cepat,” ungkap Emma melalui keterangan resmi, Minggu (19/6).
Dari sisi finansial, ia menjelaskan menerapkan program optimalisasi biaya di seluruh Pertamina Group yang meliputi penghematan biaya, penghindaran biaya, dan peningkatan pendapatan.
Di samping upaya penghematan, perseroan juga menjalankan program lindung nilai (hedging) untuk manajemen risiko pasar.
Selain itu, perseroan juga melakukan sentralisasi pengadaan, prioritas belanja modal dan manajemen aset dan liabilitas untuk menurunkan biaya atau beban bunga (cost of fund).
Selain memperketat finansial, sambung dia, Pertamina pun menerapkan strategi operasional dalam rangka meningkatkan pendapatan yang sebagian besar dijalankan oleh anak usaha, yakni enam subholding.
Di bisnis hulu, Pertamina terus meningkatkan produksi dan lifting migas untuk memanfaatkan momentum naiknya harga minyak. Hasilnya, produksi naik 4 persen dan lifting 3 persen.
Emma menyebut kinerja positif dari operasional hulu tersebut, disumbangkan dari Blok Rokan dan aset luar negeri, termasuk upaya konsisten menjaga tingkat produksi melalui pengeboran sumur dan penemuan sumber daya.
Pertamina telah melakukan pengeboran 12 sumur eksplorasi dan 350 sumur eksploitasi sepanjang 2021. Pada tahun yang sama, temuan cadangan (2C) telah mencapai 486,70 MMBOE, dan tambahan cadangan terbukti (P1) mencapai 623,47 MMBOE.
Di samping itu, Pertamina menerapkan strategi optimasi crude and product. Hal ini telah berkontribusi pada peningkatan yield of value produk sekitar 3 persen.
Strategi tersebut terkait dengan pemilihan dan substitusi ekonomis minyak mentah, dan memaksimalkan high valuable products dengan high spreads.
Sementara, produksi kilang juga meningkat sebagai respons atas permintaan energi yang lebih tinggi akibat pemulihan ekonomi nasional.
Tidak hanya itu, di lini transportasi dan logistik, perseroan mengoptimalkan load factor untuk meraih pendapatan dan efisiensi biaya. Di sisi bisnis gas, perseroan meningkatkan volume perdagangan dan transportasi gas serta volume transportasi minyak.
“Dan setelah legal end state, kami juga mengintensifkan resource sharing, seperti sharing fasilitas dan sharing development agreement, khususnya di upstream sub-holding,” imbuh Emma.
Kinerja positif di hilir juga didukung oleh pemerintah melalui pengakuan kompensasi selisih HJE JBT Solar dan JBKP Pertalite pada tahun lalu. Kompensasi tersebut mencapai sekitar US$4 miliar ekv atau Rp58,6 triliun (di luar pajak), serta pembayaran atas kompensasi 2018 dan 2019 sekitar US$1,7 miliar ekv atau Rp24,1 triliun (di luar pajak).
Menurut Emma, dukungan pemerintah berlanjut pada tahun ini melalui revisi kebijakan yang menetapkan Pertalite sebagai bahan bakar penugasan khusus menggantikan Premium dan penyesuaian harga Pertamax.
[Gambas:Video CNN]
(mrh/bir)
Sumber Berita